Pengibaran Bendera Sepanjang 1 Kilometer di Gunung Rakutak, Bandung
Pelan-pelan matahari muncul dari timur, di ujung kumpulan puncak Gunung
Rakutak, tepat pada tanggal 17 Agustus 2015. Gunung Rakutak memang memiliki
3 puncak yang terbentang dalam satu punggungan, memanjang dari barat ke timur.
Saya dan teman-teman tiba di puncak sisi barat, tepat saat matahari mulai
muncul. Terlihat bendera ukuran besar berkibar di atas sebatang galah, mata
saya mulai berkaca-kaca, ini hari merdeka. Saya berlarian menuju ke puncak
timur ke arah matahari terbit, tidak rela matahari secepat itu merangkak
naik. Tapi nyatanya saya sampai pada puncak paling
timur Gunung Rakutak terlambat, matahari telah naik tinggi, ini karena di
tengah jalan saya asik foto-foto haha…
cekrak cekrek cekreeeekkk…
Pendakian masal Gunung Rakutak pada tanggal 16-17 Agustus 2015 diadakan
oleh dua komunitas pecinta alam yaitu Forum Komunikasi Pecinta Alam (FKPA) Kabupaten Bandung dan Himpala Rakutak.
Istimewanya, tepat pada hari kemerdekaan dikibarkan bendera merah putih di puncak gunung sepanjang kurang
lebih 1 km dan lebar sekitar 1/2 meter. Ketika saya tanya kepada panitia, berat bendera itu hampir mencapai 100 kg,
hebatnya lagi, tanpa ada kain yang dipotong untuk membawa bendera sampai
puncak!
Sehari sebelumnya, tanggal 16 Agustus 2015 saya dan 12 teman lainnya
merangkak naik Gunung Rakutak dimulai dari base camp Himpala, pagi hari sekitar pukul
09.00. Sejam kemudian perjalanan kami masih berada di persawahan milik warga. Saya
merasa lamban sekali hiking kali ini. Musim kemarau membuat udara sangat panas
walaupun jam belum menunjukkan pukul 10.00. Saya melihat gubuk di tengah sawah,
mulailah satu per satu berteduh sejenak melepas dahaga. Tak berapa lama
kemudian, saya melanjutkan trekking kembali, badan kebanjiran peluh.
Beberapa menit kemudian, saya melihat gubuk lagi, kali ini cukup lebar
dari gubuk singgahan pertama. Saya langsung berteriak kepada teman-teman yang
jalan di depan agar mereka menepi ke gubuk yang saya tunjuk-tunjuk. Mulut saya
tidak berhenti mengumpati panasnya udara, tidak pernah rasanya saya hiking sepanas ini.
“Saya tidak mau melanjutkan perjalanan, pokoknya mau trekking
sore aja biar nggak panas”, saya mulai berkoar kepada teman-teman.
Gubuk Penyelamat |
Gubuk ini memiliki tempat duduk lebar yang bisa ditiduri 4-5 orang. Dimulailah acara bongkar-bongkar logistik bekal pendakian, dari membuat teh dan kopi panas, mengupas buah-buahan yang banyaknya seperti mau bikin rujak buah, hingga minuman sari kelapa yang beratnya setengah kilogram. Oiya, rujak buah benar-benar kami buat, bumbunya hanya dengan garam dan kecap. Huek!
Semua itu tidak cukup mengganjal
perut kami, padahal belum waktunya makan siang. “Bikin nasi saja sih”, yah,
salah satu orang akhirnya mengutarakan isi hatinya perutnya juga. Beras,
sayuran dan bumbu-bumbu siap dimasak. Sebutlah Naya, ditodong teman-teman untuk
memasak, karena kami tahu dia sepertinya tidak akur dengan dapur. “Iya gue yang
masak, tapi syaratnya ga boleh ada yang komentarin cara gue masak”, kata Naya
dengan penuh percaya diri.
Huru-hara selama memasak terjadi, Naya, gadis yang punya kelebihan ketawa muluk, melakukan demonstrasi masak yang tidak biasanya: sayuran direndam dengan air minum kami! Iya tidak masalah kalau airnya ikutan dimasak, lha ini setelah dimanfaatkan untuk merendam malah dibuang. Air minum ini untuk persediaan selama mendaki ya, dia malah cengengesan ketika kami tegur. “Iyaaaadah, kan terserah elu ya Naya mau masak model bagaimana”, batin saya berkomentar di sela bobo-bobo cantik memperhatiakn dia memasak.
Huru-hara selama memasak terjadi, Naya, gadis yang punya kelebihan ketawa muluk, melakukan demonstrasi masak yang tidak biasanya: sayuran direndam dengan air minum kami! Iya tidak masalah kalau airnya ikutan dimasak, lha ini setelah dimanfaatkan untuk merendam malah dibuang. Air minum ini untuk persediaan selama mendaki ya, dia malah cengengesan ketika kami tegur. “Iyaaaadah, kan terserah elu ya Naya mau masak model bagaimana”, batin saya berkomentar di sela bobo-bobo cantik memperhatiakn dia memasak.
Makanan siap disantap, kami semua mulai sibuk mencari alat-alat makan, mulai
sendok, garpu, piring, nesting sampai kertas minyak. Tidak ada hitungan ketiga,
semua makanan langsung diserbu kami, 13 orang yang makan sebelum waktunya.
“Saya tidak mau melanjutkan perjalanan, pokoknya mau trekking sore aja biar nggak panas”, kalimat ini saya ucapkan kembali setelah muka-muka
teman saya mulai terlihat kenyang. Tidak ada jawaban, entah apa yang mereka
pikirkan. Satu per satu kami pun “terkapar” tidur kekenyangan. Kelompok pertama
yang tertidur di atas papan, salah satunya saya, kemudian terdengar suara
seseorang menggelar matras di samping gubuk. Ternyata ada yang tidur juga,
sudahlah, yang akan lanjut trekking silahkan, saya mau tidur saja.
Zzz…
Zzzzzzz…
Zzzzzzzzzz….
Jreng-jreng.. Saya merasa sudah lama tidur, lalu terbangun dan ternyata…
Semuanya tertidur, iya kami bertigabelas rupanya tidur. Haha! Posisi kami luluh
lantak, ada yang tidur di hammock, di atas matras, menyender di carrier bahkan
ada yang nyempil di antara tanah sawah.
Jam menunjukkan pukul 15.00 ketika kami mulai siap trekking kembali. Ini
hiking macam apa, trekking baru satu jam tapi istirahatnya hampir 5 jam. Udara
mulai sedikit sejuk, aman untuk berjalan tanpa khawatir kepanasan. Tidak berapa
lama sampai di pos… Entah pos berapa, di sini ada warung dan beberapa panitia. Ada yang lebih menggembirakan: sumber air melimpah. Ini
surga bagi pendaki karena kami bisa kembali mengisi botol minum yang sudah
kosong. Saya manfaatkan juga untuk mengambil wudhu.
Matahari mulai redup, makin sore, berdasarkan info dari pendaki yang turun gunung, camp area yang kami tuju
sudah penuh. Tidak hanya itu, jaraknya juga masih jauh sehingga tidak
memungkinkan untuk melanjutkan ke sana hari ini. “Saya nggak mau ya trekking malam, pokoknya bikin tenda sebelum malam tiba”, dih, tumben-tumbennya saya mendadak
kemayu begini di gunung. Mungkin saya benar-benar sedang patah hati. Blar!
Tiga tenda pun berdiri di pinggir jalur, sebenarnya bukan camp area, kami hanya memanfaatkan tanah agak lapang di pinggir jurang. Hari itu pun ditutup
dengan perut kenyang dan hangatnya sleeping
bag, kami bertebaran di dalam dan di teras tenda. Ada yang tidak kebagian
tenda sehingga harus tidur di antara dua tenda.
Mereka yang Saya Sebut sebagai Kami |
Komentar
Posting Komentar