Backpacker ke Dieng, Wonosobo
Posisi awal saya berada di Jakarta, bertolak ke Wonosobo, Jawa Tengah menaiki kereta api yang dilanjutkan dengan bus umum. Pesan tiket kereta, cari info penginapan, cari peta lokasi wisata Dieng, cari info transportasi hingga eksekusi liburan saya lakoni sendiri. Semuanya berawal dari rasa ingin liburan yang membuncah dikala teman-teman terbaik yang bisa diajak "nggembel" tidak ada yang minat ke Dieng. Hih, shombong. Hasilnya, saya nekad bersolo backpacker ke kawasan wisata Dieng, tidak masalah, toh akhir-akhir ini memang sedang nge_hitz yang namanya keluyuran sendirian alias solo backpacker.
Selepas perjalanan 5 jam dengan kereta, di stasiun Purwokerto saya lanjut menuju ke Terminal Purwokerto (Terminal Bulupitu) dengan menaiki angkot yang tersedia banyak di depan stasiun. Sekali saja naik angkotnya. Calo-calo di terminal Purwokerto sopan-sopan, mereka memang suka "ngintilin" calon penumpang, apalagi jika kita terlihat bingung, tapi urusan akan beres ketika kita jawab pertanyaan mereka ke mana tujuan hidup kita. Otomatis calo-calo akan menunjukkan di mana bus itu ngetem, nggak pake "nodong"/mungut biaya.
Kawasan wisata Dieng terletak di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Saya baru tahu bahwa kawasan ini dikelola oleh dua kabupaten ketika berada di site Museum Kailasa. Saya mendapatkan info dari petugas museum bahwa lokasi Dieng Plateau Theatre merupakan aset yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Banjarnegara.
Jam menunjukkan sekitar pukul 11 siang ketika saya turun dari bus umum di pertigaan Dieng. Berdasarkan peta yang saya pelajari, saya melangkah ke arah Telaga Warna untuk menuju ke penginapan Asri Dieng Homestay, tapi sayangnya saat itu kamar sudah penuh tamu. Saya punya daftar penginapan cadangan yang nomor telponnya bisa saya kontak sewaktu-waktu. Ada satu penginapan yang murah lagi tidak jauh dari lokasi wisata, beberapa hari sebelumnya sebenarnya sudah saya telpon menanyakan ketersediaan kamar tapi ternyata nomor telpon yang saya tuju adalah milik seorang guide, sedangkan pemilik penginapan tidak punya telpon. Foto-foto penginapannya pun agak seram, duh.
Siang itu saya putuskan untuk keliling lokasi wisata dulu, berharap semoga nanti ketemu penginapan yang lebih baik. Tas ransel yang saya bawa, saya titipkan ke warung tempat makan siang. Lokasi pertama yang ingin saya datangi adalah Telaga Warna, jaraknya 1 km dan saya tempuh dengan berjalan kaki. Sepanjang jalanan sepi pengunjung yang berjalan kaki, hampir semua yang saya temui berkendara. Tabah.
Telaga Warna yang berwarna biru tosca letaknya berdampingan dengan Telaga Pengilon. Luas keduanya kelihatan sama, berbeda dengan Telaga Warna, Telaga Pengilon berwarna kecoklatan mirip warna air sungai dataran rendah. Musim sedang kemarau, air di Telaga Warna menyusut beberapa puluh meter yang ditandai dengan sisa-sisa lumpur di pinggiran telaga. Ada jalan setapak menyusuri pinggiran danau yang saya ikuti walaupun lokasi sepi pengunjung. Kanan dan kiri jalanan adalah pohon-pohon tinggi sehingga agak gelap. Tidak lama menyusuri setapaknya, ada patung bertuliskan "Batu Tulis", kemudian Goa Jaran, Goa Sumur, Goa Pengantin dan Goa Semar. Hah! Ternyata ada banyak goa di Dieng, ini tidak saya temukan di blog-blog yang saya baca. Sayangnya, semua goa dipagar besi sehingga pengunjung tidak dapat memasuki goa yang tampak dari luar hanya berukuran kecil. Di sini saya bertemu dengan 5 anak sekolahan, laki-laki semua, yang ternyata satu daerah asal dengan saya. Jumlah mereka yang ganjil membuat saya mencoba untuk mencoba menyapa, pasti mereka menaiki sepeda motor. Kalian tahu artinya?
Saya bisa nebeng ~~~
Goa Sumur |
Saya bersama mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Kawah Sikidang. Tidka banyak yang dilakukan di sana karena hujan tiba-tiba turun. Saya sempat mendekati kawah yang bau belerangnya sangat menyengat, namun tidak lama. Jika cuaca panas mungkin lokasi ini akan bagus untuk foto-foto.
Sempat ditawari untuk menginap bareng rombongan mereka, saya diam, kemudian ada yang bilang "tenang aja, ada ceweknya kok dua orang". Entah kenapa firasat saya tidak enak ketika diminta gabung menginap dengan mereka. Berdalih sudah mendapatkan penginapan, saya tolak tawaran mereka. Padahal saya belum menemukan penginapan.
Penginapan Saya |
Tuh kan gelap gitu penginapannya, nah lho!
Penginapan yang saya sebutkan foto-fotonya gelap akhirnya menjadi pilihan saya. Hari mulai gelap, saya beranikan untuk menginjakkan kaki ke kamar penginapan di lantai dua. Rasanya pengin lari ketika pemandangan di lorong kamar tidak enak, gelap, awut-awutan dan lembab. Kamar yang saya dapatkan murah sekali harganya, kamar mandi di luar kamar. Kata penjaga penginapan, tamu hari itu banyak, hampir semua kamar terisi, tapi nyatanya sampai besoknya check out tidak ada tamu yang saya temui. Tengah malam banyak suara bising kendaraan, suara angin dan atap penginapan yang terkena angin sehingga sering kebangun memperhatikan jendela, ngeri atap rubuh dan sebagainya. Saya hanya berharap pagi lekas datang.
Esoknya, pagi sekali saya keluar dari penginapan menuju ke candi Arjuna, lanjut Museum Kaliasa, Candi Bima dan menonton film dokumenter di Dieng Plateau Theater. Jarak keempat tempat tersebut berurutan namun berjauhan, yang paling jauh adalah Dieng Plateau Theater yaitu 2,8 km. Tekad saya adalah tetap berjalan kaki menyusuri ladang warga, rumah warga, gunung, lembah, kenangan. Di tengah perjalanan saya berpapasan dengan seorang bule perempuan, jalan kaki juga. Hore! Ada teman!
Candi Bima |
Beberapa saat kemudian, seorang bapak-bapak menanyakan saya mau ke mana hingga menawari tumpangan sepeda motor sampai Dieng Plateau Theater. Saya terima saja tawarannya, lumayan mengirit waktu. Bapak itu mengira saya adalah warga setempat. Lah, kalau dari awal bapaknya tahu bahwa saya wisatawan, kira-kira bapak itu masih mau menawari tumpangan gratis nggak ya? Hehe!
Film dokumenter yang diputar berisi sejarah terbentuknya kawasan Dieng hingga bencana alam yang pernah terjadi. Misalnya, pada tahun 1979, gas beracun keluar dari Kawah Sinila. Kawah Sinila meletus pukul 05.04 setelah sebelumnya terjadi gempa. Akumulasi gas karbondioksida yang mencapai sekitar 200.000 ton dalam waktu cepat bergerak menuruni lereng dan lembah, menewaskan 142 penduduk yang tidak menyadari bahaya datang. Adanya gas-gas beracun tersebut hingga kini menyebabkan beberapa titik kawasan Dieng selalu dipantau kadarnya oleh petugas, dan dibatasi agar tidak didekati penduduk.
Batu Ratapan Angin |
Selesai nonton film dokumenter, saya lanjutkan trekking ke Batu Ratapan Angin, di mana bisa melihat Telaga Warna dan Pengilon dari ketinggian, untuk kedua kalinya setelah sehari sebelumnya berada di situ juga. Duduk lama-lama di sini saya betah, tapi dingin!
Komentar
Posting Komentar