Pesona Air Terjun dan Balai Rumah Adat Suku Dayak Haratai
Perjalanan
solo bagi saya pertama kalinya di Borneo, membelah pegunungan Meratus,
Kalimantan Selatan.
Sehari semalam
merupakan waktu yang sangat singkat untuk menikmati alam di Loksado. Kita bisa
mengunjungi Air Terjun Haratai, rumah adat Haratai, rumah adat Malaris dan yang
paling seru adalah bermain bamboo rafting
di sungai Amandit. Rumah adat ini merupakan suatu balai besar yang terdiri dari
kamar-kamar dan satu hall di tengahnya. Kunjungan ke balai rumah adat pada hari
perayaan suku dayak akan lebih terasa suasana sakralnya. Jika kita ke balai
rumah adat di luar hari perayaan masih bisa memasuki rumah adatnya. Bebas, hehe..
Suasana di
sekitar homestay cukup ramai ketika saya datang. Ini karena tepat di depan homestay
adalah bengkel motor. Tanpa menghabiskan banyak waktu, setelah menaruh tas ransel
di kamar, saya langsung cari ojek menuju Air Terjun Haratai yang lokasinya
sekitar 5 km dari homestay. Jarak bisa ditempuh dengan trekking sih,
tetapi hari sudah sore, saya tidak mau kena malam di jalur,
sendirian pulak, hiiih di hutannya suku Dayak gitu...
Saya lupa nama
ojek yang saya tumpangi, panggil saja “si kecil” lah karena ternyata dia kerabat pemilik homestay. Salut pada “si kecil” ternyata dia masih berkuliah di Banjarmasin! Lanjutkan
nak!
Jalanan Menuju Air Terjun Haratai |
Sepanjang
jalan menuju air terjun sangat mulus terbuat dari cor-coran semen, rupanya ini
merupakan hasil kerja dari Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD) sekitar 1-2 tahun yang
lalu. Kanan dan kiri jalan sebagian besar pohon bambu yang sangat lebat, tetapi
terlihat beberapa bagian bekas ditebang. Mungkin untuk pembuatan rakit ya,
mengingat destinasi wisata bamboo rafting
di Loksado makin terkenal. Kata seorang bapak “nahkoda” bamboo rafting, warga hanya menebang bambu sekali untuk rakit yang bisa dipakai
berkali-kali. Benar juga, saya sempat menaiki bamboo rafting dan setelah sampai pada akhir perjalanan, bambu-bambu
itu diangkut kembali ke hulu sungai untuk dipergunakan kembali. Baguslah… Jangan
sampai rusak hutannya ya…
Jembatan Gantung |
Jembatan gantung
banyak dijumpai di belahan hutan yang di bawahnya mengalirlah sungai-sungai
bening. Panik saya jika melihat aliran bening, bawaannya ingin nyeburrrr…. Hey,
lokasi wisata air terjun sangat sepi, iyalah, hari kerja. Berasa
privat deh. Sungai di bawah air terjun sangat jernih, saya masih bisa melihat
dasarnya di beberapa bagian. Jika musim penghujan, maka akan lebih deras
air yang tumpah dari atas dan berwarna coklat pekat. Beruntung saat saya ke sana
sedang musim kemarau, sekitar Bulan September 2014, sehingga airnya jernih.
Air Terjun Haratai |
Saya tidak
berlama-lama di air terjun, mengingat akan mengunjungi balai adat suku dayak di
Haratai. Sebenarnya saat perjalanana menuju Air Terjun Haratai saya sudah
melewati balai adat ini. Semua bangunan terbuat dari kayu dan bambu. Kondisinya
memprihatinkan dan kotor sekali. Sampah bekas perayaan masih bertumpuk-tumpuk
di satu titik dalam balai. Beberapa bagian bangunan rapuh bahkan ada yang
ambruk. Ironisnya, bangunan ini masih dipakai untuk acara adat. Bangunan
terdiri dari beberapa “rumah”, jika saya tidak salah menghitung, jumlahnya ada
3. Satu bangunan paling besar di dalamnya berisi semacam “hall” yang merupakan ruang utama untuk upacara adat. Masih terlihat
bekas-bekas perayaan berupa janur kering dan padi terikat menggantung di beberapa
interior. Hall dikelilingi oleh kamar-kamar,
yak, full di sekeliling hall!
Kabarnya, jika kita datang pas hari perayaan, kita bisa ikutan “nyempil” tidur
di kamar-kamar tersebut atau ngampar di sudut sepi yang kita sukai. Gratis…
"Hall" Balai Adat Haratai |
Sisa Upacara Adat |
Salah Satu Sudut Bangunan Balai Adat yang Ambruk |
Acara adat biasanya
ada pada akhir tahun atau setelah panen padi. Suku dayak di Loksado masih
kental dengan upacara adat, sehingga dalam satu kecamatan terdapat dua balai
adat. Selain balai adat di Haratai, dijumpai pula balai adat di Malaris. Balai
adat di Malaris lebih baik kondisinya. Saya tidak tahu mengapa dua balai adat
ini sangat jauh berbeda kondisinya.
Balai adat
memang tidak ditinggali oleh suku dayak, ini hanya dipergunakan untuk
acara-acara adat. Alangkah lebih baiknya jika pemda setempat lebih perhatian
terhadap kondisi balai adat, khususnya yang di Haratai, agar “dipoles” lebih
bagus lagi. Ini merupakan aset wisata lho pak/bu pejabat…
Pemukiman Suku Dayak Semi Tradisional |
Sore hari
menjelang malam, setelah puas mengunjungi air terjun Haratai dan balai adat
Haratai, saya mengajak “si kecil” untuk sekedar ngopi-ngopi di warung dekat
homestay. Padahal niat saya sih makan besar karena makan siang saya hanya ketupat
kandangan yang (khas) tidak ada sayurannya. Satu warung yang saya datangi bilang “nasinya
habis mbak”, waduh. Saya berpindah
warung lain, untungnya masih ada nasi walaupun lauknya hanya ikan, lagi-lagi
tidak ada sayurnya. Saya termasuk yang doyan sayur, seharian ga ketemu
sayur rasanya aneh. “Si kecil” saya ajak ikut juga, dia saya pesankan kopi untuk teman ngobrol.
Kayu Manis Sebagai Salah Satu Potensi Hasil Bumi di Haratai |
Pantesan di Loksado
susah mendapatkan sayur, sepanjang mata memandang daya tidak melihat perkebunan
yang isinya sayuran. Paling mentok saya melihat kayu manis sedang dijemur di
jalan setapak Haratai. Pasar tradisional pun hanya ada pada satu hari pasaran
dalam satu minggu, yaitu hari Kamis. Nah, kan, ketahuan tidak ada yang jualan
sayuran segar setiap hari.
Bicara tentang pasar, awalnya saya mencari mandau titipan dari teman, siapa tahu dapat dibeli di Loksado. Mandau adalah senjata khas suku dayak yang berbentuk seperti parang namun memiliki sarung yang berhias daun kering semacam daun lontar, ringan dan pegangan mandau juga dihias cantik. Ujung-ujungnya, jika keukeuh mencari mandau di Loksado hanya ada pada hari pasaran. Tidak habis akal,saya menyempatkan mampir ke pasar yang cukup besar dan ramai tidak jauh dari terminal Kandangan. Sebelum kembali ke Kota Banjarmasin, mandau saya beli di sudut kios-kios penjual benda tajam. Ada kejadian menggelitik saat saya mencoba membuka sarung mandau di kios. Seorang bapak-bapak dengan cekatan memindahkan anaknya menjauhi saya... Lah, saya nggak bakal ngapa-ngapain anak bapak kok. Hehe!
Saya sempat khawatir membawa mandau apakah diperbolehkan masuk di pesawat atau bahkan sekedar memasuki bandara. Beberapa hari sebelumnya saya menelpon cargo salah satu maskapai penerbangan. Pengiriman cargo minimal 1 kg dengan harga Rp.80.000,-/kg, jarak penerbangan Banjarmasin ke Jakarta. Berat 2 buah mandau saya mungkin tidak sampai 1kg.
Saat tiba di bandara, saya tidak memasukannya dalam cargo langsung. Saya bertanya dahulu kepada petugas pengecekkan tiket di pintu masuk bandara dan yeyyy! Bo-leh dibawa asal dimasukkan ke bagasi pesawat. Langsung saja saya uwel-uwel pakai plastik wrapping, bayar jasanya separuh dari harga jasa cargo itu lah... Tak masalah..
Kekhawatiran ini berawal pengalaman saya di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh, saat membawa hiasan rencong yang dibingkai menuju ke Jakarta. Rencong itu memang terbuat dari logam, namun ukurannya kweciiil, tapi kok ya tetep disuruh dipisahkan dari tas dan dilaporkan ke karantina maskapai penerbangan yang saya tumpangi. Bahkan tidak diperkenankan ditaruh di bagasi pesawat yang kendalinya pasti dari mereka juga. Tidak dipersulit sih mengikuti "ini-itu" nya, tapi lebay!
Bicara tentang pasar, awalnya saya mencari mandau titipan dari teman, siapa tahu dapat dibeli di Loksado. Mandau adalah senjata khas suku dayak yang berbentuk seperti parang namun memiliki sarung yang berhias daun kering semacam daun lontar, ringan dan pegangan mandau juga dihias cantik. Ujung-ujungnya, jika keukeuh mencari mandau di Loksado hanya ada pada hari pasaran. Tidak habis akal,saya menyempatkan mampir ke pasar yang cukup besar dan ramai tidak jauh dari terminal Kandangan. Sebelum kembali ke Kota Banjarmasin, mandau saya beli di sudut kios-kios penjual benda tajam. Ada kejadian menggelitik saat saya mencoba membuka sarung mandau di kios. Seorang bapak-bapak dengan cekatan memindahkan anaknya menjauhi saya... Lah, saya nggak bakal ngapa-ngapain anak bapak kok. Hehe!
Saya sempat khawatir membawa mandau apakah diperbolehkan masuk di pesawat atau bahkan sekedar memasuki bandara. Beberapa hari sebelumnya saya menelpon cargo salah satu maskapai penerbangan. Pengiriman cargo minimal 1 kg dengan harga Rp.80.000,-/kg, jarak penerbangan Banjarmasin ke Jakarta. Berat 2 buah mandau saya mungkin tidak sampai 1kg.
Saat tiba di bandara, saya tidak memasukannya dalam cargo langsung. Saya bertanya dahulu kepada petugas pengecekkan tiket di pintu masuk bandara dan yeyyy! Bo-leh dibawa asal dimasukkan ke bagasi pesawat. Langsung saja saya uwel-uwel pakai plastik wrapping, bayar jasanya separuh dari harga jasa cargo itu lah... Tak masalah..
Kekhawatiran ini berawal pengalaman saya di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh, saat membawa hiasan rencong yang dibingkai menuju ke Jakarta. Rencong itu memang terbuat dari logam, namun ukurannya kweciiil, tapi kok ya tetep disuruh dipisahkan dari tas dan dilaporkan ke karantina maskapai penerbangan yang saya tumpangi. Bahkan tidak diperkenankan ditaruh di bagasi pesawat yang kendalinya pasti dari mereka juga. Tidak dipersulit sih mengikuti "ini-itu" nya, tapi lebay!
Hal menarik perhatian saya tentang tradisi di Kalimantan Selatan adalah: saya melihat beberapa perempuan memakai "bedak" yang super tebal. Mereka dengan percaya diri berlalu-lalang di pasar dan orang-orang menganggapnya wajar. Hampir tertawa saya saat pertama kalinya melihat mereka, sesekali mencuri-curi padang, memperhatikan wajahnya lamat-lamat. Warnanya putih, lebih mirip seperti masker beras kencur yang di oleskan di muka. Saya bertanya kepada salah satu ibu-ibu yang memakai "bedak" itu, dia menyebutnya pupur. Lah, sama dong dengan istilah bedak di suku Jawa, tapi bedanya tidak dipakai sambil jalan-jalan atau belanja ke pasar ya...
Suku Dayak Haratai |
Oh ya, homestay yang
saya tinggali di Loksado terbuat dari papan kayu, kamar saya di lantai 2, langkah kaki
menjadikan lantai berderik. Suara sungai Amandit tepat di belakang homestay
menjadi penghantar tidur saya malam itu….
Transport:
Transportasi
menuju ke Kecamatan Loksado, pegunungan Meratus mudah. Kita dapat berangkat
dari terminal Pal 6 (kilometer 6) di Banjarmasin menggunakan mobil elf L300 warna putih (berasa
di ambulance) menuju terminal
Kandangan selama 3 jam seharga Rp.40.000,-. Selanjutnya, hari sudah siang
ketika saya sampai di terminal Kandangan, sehingga hanya ojek pilihan terakhir
saya menuju Loksado seharga Rp.80.000,-. Jika hari masih pagi, ada kendaraan
khusus menuju ke Loksado dari terminal Kandangan, mungkin harganya akan lebih
murah.
Penginapan di Loksado terbatas, paling murah di homestay Alya dapat menghubungi beliau langsung di nomor 085390811077. Tetapi jangan berekspektasi tinggi dengan penginapan ini, seluruh bangunan terbuat dari kayu, tangga sempit, kamar sempit dan hampir seluruhnya termakan kasur ukuran king size tanpa dipan/ranjang, kamar mandi hanya 1 untuk 7 kamar hehe!
Setelah bermain bamboo rafting, saya menuju kembali ke
terminal Kandangan menggunakan ojek seharga Rp.70.000,-. Selama bamboo rafting, saya menitipkan tas dari
homestay dibawa oleh ojek yang menjemput saya di titik akhir bamboo rafting. Praktis.Penginapan di Loksado terbatas, paling murah di homestay Alya dapat menghubungi beliau langsung di nomor 085390811077. Tetapi jangan berekspektasi tinggi dengan penginapan ini, seluruh bangunan terbuat dari kayu, tangga sempit, kamar sempit dan hampir seluruhnya termakan kasur ukuran king size tanpa dipan/ranjang, kamar mandi hanya 1 untuk 7 kamar hehe!
Komentar
Posting Komentar