Berrakit-rakit di Sungainya Suku Dayak: Loksado








Jika biasanya rafting dilakukan menggunakan perahu karet, berbeda dengan di Loksado. Di sini kita dapat rafting menggunakan perahu bambu alias rakit!






Sungai Amandit akan menjadi sungai yang saya kenang terus karena keramahannya mengantarkan saya menyusuri liukan sungainya. Sampai kapanpun saya akan mengenang semilirnya angin, gemercik airnya dan segarnya udara di sana. Perjalanan solo ini berawal dari rasa penasaran saya terhadap suku dayak di Borneo. Budayanya, pemukimannya, rumah adatnya hingga alamnya yang terletak di gugusan pegunungan Meratus menarik saya untuk mendatanginya. 

Saya berangkat dari Bandara Syamsudin Noor di Banjarmasin, lanjut menaiki angkutan umum menuju terminal Kecamatan Kandangan dan lanjut ngojek ke Kecamatan Loksado. Kecamatan Kandangan dan Loksado terletak di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Empat jam dari bandara adalah waktu yang dihabiskan di jalanan demi mengakses Loksado. Selama menaiki ojek, saya sering senyum-senyum sendiri menghirup udara segar di belahan hutan pegunungan Meratus. Hutan masih rapat di kanan dan kiri jalanan. 

Berbekal informasi dari seorang kawan backpacker Banjarmasin melalui surel, saya disarankan bermain bamboo rafting pada pagi hari. Sehari sebelumnya saya memesan kepada pemilik homestay untuk rafting. Pemesanan dilakukan sehari sebelum kegiatan agar rakit disiapkan dahulu sepagi mungkin pada hari H. Karena di Loksado sudah terkenal dengan wisata bamboo rafting, maka warga sekitar rupanya sengaja menyimpan batangan bambu untuk persediaan sewaktu-waktu ada turis yang menyewanya. Mereka dapat merakit bamb-bambu dalam waktu singkat, setengah jam!



Dayung Pak, Ayo Dayung....




Nice View






Jika musim kemarau, bambu yang dibutuhkan untuk bamboo rafting adalah 10 batang disusun berjajar. Seperti saat saya datang ke Loksado, bulan Agustus masih musim kemarau. Namun jika anda datang saat musim hujan, bambu yang dibutuhkan mencapai 16 batang berjajar. Hebatnya, suku dayak di sini mengikat bambu-bambunya hanya dengan menggunakan pilinan batang bambu! Tanpa menggunakan tali tambang ataupun tali buatan lainnya. Lebih saktinya lagi, kondisi rakitan bambunya utuh dari awal hingga akhir rafting walaupun di tengah jalan terbentur-bentur bebatuan dan derasnya air.




Melirik Bagian Belakang Rakit






Aliran sungai saat itu terbilang tidak terlalu deras, sehingga saya menghabiskan waktu empat jam di atas rakit menyusuri sungai Amandit. Hanya dibutuhkan waktu 1-2 jam saja jika musim hujan yang aliran sungainya bisa meluap dan deras. Hiiih bisa dibayangkan serunya…
Rakit berjalan perlahan, hingga sepanjang perjalanan itu saya sudah sempat melakukan hal apapun, mulai dari foto-foto, menyapa penduduk lokal, nyanyi-nyanyi, tiduran, ngobrol dengan “nahkoda” rakit, hingga puncaknya: saya terjun mandi di sungai.

 
Airnya Jernih... Panik Ingin Nyebur



Saya melewati beberapa titik perkampungan yang letaknya berjauhan. Hari masih pagi saat saya mulai menyusuri sungai Amandit sehingga terlihat aktivitas bersih-bersih warga perkampungan di sekitar sungai. Aktivitas mandi dan cuci nampaknya masih mengandalkan air sungai ini. 


Mandi Pagi? Nyebur Aja Langsung




Tidak jarang sang bapak “nahkoda” rakit turun ke sungai untuk  memindahkan bebatuan yang menghalangi laju rakit atau menarik rakit ketika melewati aliran yang dangkal. Satu ketika ada belokan tajam di sungai hingga rakit tidak memungkinkan untuk melalui belokan tersebut. Alhasil saya dan bapak “nahkoda” turun untuk menarik rakit melewatinya. Rakit sangat beraaaat euy…. Tapi si bapak datar saja mukanya, seperti tidak terasa berat gitu narik-narik rakit segede gaban…


Rakit yang Dievakuasi Karena Gagal "Belok"


Pak Nahkoda Sampai Turun Memindahkan Bebatuan Saat Melewati Area yang Dangkal




Anak eh, Remaja Suku Dayak










Namun sangat disayangkan, lebih dari empat titik saya melihat hutan yang telah dibakar untuk pembukaan lahan. Tampaknya pemerintah setempat perlu memberikan perhatian pada penerapan regulasi pembukaan lahan di Pegunungan Meratus. Jangan sampai pembukaan lahan ini berdampak pada rusaknya lingkungan, apalagi ditanami beton-beton tanpa mempedulikan aspek kesehatan lingkungan. Ketika saya menanyakan apakah orang dari luar suku dayak boleh memiliki tanah di sini, dia menjawab boleh saja. Hadoh! Saya yakin, dalam waktu beberapa tahun ke depan akan banyak pengusaha yang berbondong-bondong membuka usaha di Loksado, artinya, kejernisan aliran sungai bisa saja terganggu.



Pembukaan Lahan Banyak Saya Jumpai, hiksss...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Jam untuk "Tektok" Gunung Pangrango, Jawa Barat

Pengibaran Bendera Sepanjang 1 Kilometer di Gunung Rakutak, Bandung

Backpacker ke Dieng, Wonosobo