Lhaaaa Kok "Ngapak" Juga di Kabupaten Kerinci






Ribuan kilometer dari Jakarta, saya jabanin naik pesawat menuju Kota Padang yang dilanjutkan perjalanan darat ke Kecamatan Kayu Aro dalam Provinsi Jambi. Setiap kali traveling saya mendambakan bertemu dengan orang yang berbeda budaya. Ketika berkomunikasi dengan masyarakat asli suatu tempat akan memberi sensasi berbeda dengan keseharian kita. Bagi saya ini menyenangkan.



Tapiiii, bayangan saya untuk bertemu masyarakat asli di Kabupaten Kerinci, khususnya di Kecamatan Kayu Aro, Desa Kersik Tuo gatot alias gagal total. Saya kaget ketika baru sampai di salah satu penginapan khusus pendaki Gunung Kerinci, pemilik rumah berbicara bahasa Indonesia dengan logat Jawa. Ah, paling kebetulan saja, mungkin dia lahir di Jawa lalu merantau ke Kerinci. Eh, beberapa saat saat saya mondar-mandir di dalam penginapan ternyata seluruh keluarga dalam satu rumah itu berbahasa Jawa "ngapak blekethek" Jawa poooolll.... Saya mendadak tertawa dan langsung nimbrung ngobrol dengan bahasa Jawa bersama mereka. Kampung halaman saya ada di Tegal, Jawa Tengah hingga tidak ada kesulitan berkomunikasi dengan mereka menggunakan bahasa "ngapak blekethek". 



Tidak berhenti di situ keheranan saya, ketika saya ke warung bakso dan toko kelontong dekat penginapan, penjualnya berlogat Jawa juga. Setelah bertanya kepada pemilik penginapan, ternyata sebagian besar masyarakat Desa Kersik Tuo adalah orang JAWA, 90%! Lhaaa kalau ngobrol bahasan Jawa mah ngapain jauh-jauh ke Jambi yak. Haha!



Konon, saat zaman penjajahan nenek moyang mereka yang berasal dari Jawa Tengah mengikuti kontrak kerja dengan bangsa Belanda di Provinsi Jambi. Namun ketika kontrak selesai mereka tidak dapat pulang kampung karena tidak ada biaya, sehingga mereka beranak pinak di Desa kersik Tuo. Ada nenek-nenek di sana katanya sejak lahir di Desa kersik Tuo, wih, mungkin umurnya sekitar 70an. Lalu, tahun berapa ya nenek moyang mereka hijrah pada zaman penjajahan??








View dari Beranda Penginapan di Desa Kersik Tuo






Wajib Poto di Sini


Sunrise di Balik Kecamatan Gunung Tujuh





Tujuan saya ke Kabupaten Kerinci adalah untuk mendaki Gunung Kerinci,  merupakan gunung berapi tertinggi di Indonesia yang masih aktif. Semuanya sudah dipersiapkan sekitar 2-3 bulan sebelumnya. Hingga akhirnya badai menjemput kami di atas ketinggian Gunung Kerinci.



25 Desember 2014

Tidak lama kami memasuki pintu rimba, di awal pendakian ini saya sudah mendengar suara sekumpulan kera sangat keras. Saya membayangkan mereka pasti sedang asik berterbangan bergerak-gerak di pepohonan. Semakin jauh memasuki hutan, semakin keras bunyi mereka. Maksud hati berharap melihat aksi kera-kera itu, semakin berjalan mendekat ternyata mereka langsung bungkam.  Hih, jual mahal ya kera-kera di sini. Saya sedikit beruntung karena sempat melihat sekelebat kera “terbang’ diantara pohon besar. 
Tapi kera itu tidak berlogat Jawa kok, *eh!


Sehari sebelumnya kami tiba di Bandara Minangkabau, Padang pagi hari dan langsung lanjut menuju ke Kabupaten Kerinci menggunakan mobil travel. Di luar dugaan, jalan lintas provinsi Sumatera Barat ke Jambi belokan-belokannya mirip seperti roller coaster, tapi datar. Perut saya teraduk-aduk selama tujuh jam bermobilan, beruntung tidak sampai mabok darat. Namun selama tujuh jam itu pula mata kami disuguhi pemandangan yang ijo royo-royo, suasana pegunungan di luar jendela mobil berderet-deret. Dan paling membuat saya berbinar adalah buah markisa yang dibeli di pinggiran jalan raya Kabupaten Solok. Muaniisss buahnya. 


Buah Markisa Manise Poooool dari Solok


26 Desember 2015 

Hari menjelang siang pukul 09.00 WIB dan rombongan kami masih di Shelter 2, camp area kami. Rencana awal kami summit attack pada dini hari, namun hujan terus mengguyur. Walaupun kesiangan, kami masih bertekad untuk menuju puncak. Kami semua menuju Shleter 3 dengan jalur yang aduh, seksi bangeddd... Bergelantungan dari akar ke akar dan menyelip-nyelip di antara jalur air yang sempit plus becek dan licin, saya berpikir ini pendakian cukup ekstriiim dengan cuaca yang ekstriimm... Rasanya akan mustahil kami sampai di puncaknya.


Jelas saja tidak bisa muncak, saat sampai di Pos 3 kami melihat beberapa orang turun dari atas menuju Shelter 3. Mereka terkena badai. Iya, kabut pekat, tidak dapat ditembus oleh senter biasa, hujan ditambah angin kencang. Demi keselamatan kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak. Hiksss...

 
Jalur pulang menuju base camp menjadi begitu licin, lebih licin dari sehari sebelumnya kami mendaki. Jalan setapak berubah menjadi “bubur” tanah. Saya pasrah ketika kaki saya menapaki "bubur” tanah yang tingginya hampir sebetis. Jalan setapak yang hari kemarin masih aman dilalui ternyata hari ini sudah semakin parah saja lumpurnya. Sepatu saya sampai kemasukan lumpur maksimal, melebihi batas atas sepatu. 



Ada sesuatu yang menggelikan di Gunung Kerinci, lintah berwarna merah-oranye menyala. Hadoh, ini binatang merepotkan sekali. Ukurannya yang lebih besar dari cacing tanah saat musim hujan begini sering ditemui di jalur, tentu sangat mengganggu perjalanan saya. Pertama melihat belum terasa gelinya karena ukurannya masih kecil sebesar cacing tanah. Pertemuan berikutnya lha kok besar? gemuk banget, idihhhh merambat ngesot-ngesot menjijikan. Hiiiih sejak pertemuan kedua dengan lintah itu saya langsung berteriak-teriak menyuruh siapa saja untuk menyingkirkan si binatang ngesot. Saya sempat mual ketika melihat binatang ini ngesot! 




Ketika menuruni gunung Kerinci saya setengah lari menerjang apapun yang di depan mata. Pergantian hari dari siang menuju malam membuat saya ngeri berada di antara Pos 3 dan Pintu Rimba. Kabarnya, jangan sampai bertemu malam sepanjang jalur tersebut karena "nenek" akan berkeliaran di sekitaran jalur itu. "Nenek" adalah sebutan warga setempat untuk binatang macan. Semua teman tertinggal di belakang, bahkan guide pun di belakang saya karena menemani kawan lain. Saya hanya berdua dengan seorang teman dari Medan terbirit-birit mengejar Pintu Rimba.





Masih "Bersih" Sebelum Mendaki


Nemu Kawan-kawan dari Padang


Nemu Burung Kecillll di Shelter 2













27 Desember 2014

Kami bersenang-senang di Danau Gunung Tujuh :)



28 Desember 2014

Pagi hari saya dikejutkan dengan adanya mobil SAR di depan penginapan. Saya sangat sedih ketika mendengar berita ada seorang pendaki yang hilang di Gunung Kerinci. Orang Bekasi Jawa Barat yang hilang, ternyata mendaki Gunung Kerinci waktunya bersamaan dengan rombongan kami, tanggal 25 Desember 2014. Seharusnya dia dijadwalkan menuruni Gunung Kerinci pada tanggal 27 Desember 2014, jadi sudah sehari dia menghilang. Kabarnya dia memaksa mendaki hingga puncak gunung dan menghilang saat menuruni gunung, dimungkinkan dia salah pilih jodoh jalur punggungan. Memang, hujan badai dan kabut saat itu begitu dahsyat hingga dinginnya serasa menusuk kulit. Padahal saya juga sudah memakai kaos dalam, kaos katun, jaket tebal, jas hujan.




Hingga saat ini saya menulis, Februari 2015, dia belum ditemukan. Mendaki gunung perlu ada strategi dan yang penting patuhi peraturan setempat. Tidak perlu mengikuti kemauan lalu mengabaikan keselamatan. Semoga dia lekas ditemukan dengan keadaan selamat ya.

Yuk, jadi pendaki yang disiplin agar selamat :)













Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Jam untuk "Tektok" Gunung Pangrango, Jawa Barat

Pengibaran Bendera Sepanjang 1 Kilometer di Gunung Rakutak, Bandung

Backpacker ke Dieng, Wonosobo