Antara Horror vs Kocak di Gunung Arjuna & Welirang (Bagian 2)


Sebelumnya...

Antara Horror vs Kocak di Gunung Arjuna & Welirang (Bagian 1)




Sejam jalan terus tanpa berhenti, niatnya mau mengikuti langkah 4 kawan dari Malaysia. Tapi apa daya, kecepatan langkah saya mulai menurun. "Kang, kok kamu jalannya cepet sih, padahal bawa tas berat", kata saya ke Kang Rizal. "Kalau mendaki itu jalannya pelan-pelan saja asal konsisten, jangan banyak istirahat, jadi kesannya cepat", jawab Kang Rizal. Saya manggut-manggut sambil mengatur napas, tapi tiba-tiba kang Rizal yang ada di belakang saya berhenti dan meletakkan carrier. Dia langsung duduk, "kaki saya keram", katanya sambil nyengir. Whoahahaha! Hush!


Wajar kakinya keram, beban carrier sangat berat, ada tenda dan beberapa peralatan tim di dalamnya. Hari sudah mulai gelap, saya hanya bisa menungguinya dan menawarkan minuman. Salah satu kawan dari Malaysia adalah seorang dokter, beliau bernama dokter Ramli memberikan air mineral dicampur garam untuk Kang Rizal. Katanya itu membantu memulihkan otot yang keram.

Kang, kamu kan nggak diare, kok dikasih air garam mau sih? 
Haha!


Waktu menunjukkan sekitar pukul 7 malam, saya dan Kang Rizal masih di jalur menuju Pos III. Tim di belakang kami belum nampak, bahkan suaranya pun tidak terdengar sejak jam 5 jalan. Empat kawan yang tadi jalan bareng sekarang tidak terlihat, mungkin sudah sampai Pos III. Hasil perbincangan di jalur pendakian, ternyata empat kawan itu adalah penggiat olah raga lari, jadi pantas saja jalannya cepat tidak bisa kami imbangi. Sedih. (sedih mulu)



Kondisi jalur sangat gelap pekat, kanan kiri pohon pinus yang rapat, rasa lelah dan kantuk parah mulai menyerang. Saya meminta Kang Rizal berhenti untuk sekedar rebahan karena saya rasakan badan mulai tidak seimbang. Saya takut jatuh karena ngantuk, nahan kantuk bikin pusing kan? 

"Kang, agak lama istirahatnya ya, ngerokok sebungkus juga nggak apa-apa kok", demi rebahan dah saya persilahkan dia ngerokok.


Tidak lebih dari 15 menit istirahat, kami lanjutkan jalan sambil berharap kami papasan atau disusul rombongan lain. Badan lumayan segar, kami baru jalan sebentar dan tiba-tiba seperti ada yang memegang pundak saya sisi kanan. Saya masih diam dan melirik Kang Rizal yang di sebelah kanan saya juga. Hah! Kedua tangan Kang Rizal nggak pegang apapun, lha terus apa ini nempel di pundak. Saya beranikan untuk memegang pundak kanan, 
"Eh! Aaaaaakk", kayak nampik benda apaan. "Hih, itu tadi apa kang?", saya mulai takut. "Sudah, gak apa-apa, cuma sugesti aja", kata Kang Rizal. 
Sugesti gundulnya...

Sabar, cuma berharap nggak lihat atau mengalami yang lebih aneh-aneh. Pos III belum nampak juga padahal hampir jam 8 malam. Kami berdua duduk menghadap jalur turun ketika melihat ada sorot lampu senter dari belakang kami, rombongan lain. Kami putuskan untuk menunggu mereka, biar ada barengan. "Mas, Pos III berapa lama lagi?", tanya Kang Rizal kepada mereka. "Masih lumayan lah, beberapa ratus meter lagi", jawab mas-masnya, saya lupa jawaban persis masnya, yang pasti bikin Kang Rizal kesal. Kenapa? Karena ternyata Pos III jaraknya tinggal selemparan batu saja. Lhah, ngapain kita nungguin rombongan itu, wong Pos III sudah terlihat setelah sekitar sepuluh langkah menapaki jalur yang agak menanjak. Yassalaam...





Pos III (Pondokan)
Dua tenda sudah beres berdiri di Pos III, tinggal urusan makanan yang belum matang. Saya dan Kak Dian mulai memasak. Katanya, terserah saya mau masak apa. Baiklah, saya sok tahu bilang mau masak tumis-tumis dan goreng apa yang ada. Kami saling bercerita tentang keseharian kami, hobi dan pekerjaan. Saya langsung melotot dan berhenti memotong-motong sayur ketika Kak Dian bilang bahwa pekerjaannya adalah sebagai chef! "Hah? Ohhh, kalau begitu silakan Kak Dian saja yang memasak, saya bantuin saja", hahaha saya mendadak minder.

"Tidak-tidak, lanjutkan saja", kata kak Dian. Asli, ini beban banget, bagaimana kalau masakan saya nggak enak. 
"Tempe gorengnya enak Lia", kata dokter Ramli, "Di Malaysia tempenya tidak ada yang seenak ini". "Begitu ya? Besok beli saja tempe yang banyak untuk dibawa pulang ke Malaysia", jawab saya asal mangap. Ya kali, ada yang mau bawa tempe dijadiin oleh-oleh dari negara Indonesia Raya...


Pukul 10 malam tim kami belum muncul juga, saya tertidur meringkuk di atas kantong tidur selesai makan. Tidak berapa lama satu per satu kawan kami sampai di Pos III. Paling terakhir sekitar pukul 12 malam mereka sampai. Kondisi mereka sudah kelelahan, tapi syukurlah tidak ada yang cedera. 




"Tas-tas logistik gue tinggal di jalur, kita udah capek banget dan ngantuk", celoteh Bang Iway yang langsung masuk tenda tempat saya tidur, bersamaan datangnya Kak Lady dan Kak Achmad. Saya sodorin mereka makanan yang sudah dingin, maaf ya. Pokoknya kalian selamat dan sehat. Batin saya terus mengucap syukur, tadinya pengin peluk mereka satu-satu tapi mending lanjut tidur lagi, masuk kantong tidur yang bener. 
Nah, ada satu kata yang ketika kami ucapkan akan membuat kawan-kawan dari Malaysia tertawa, yaitu kata "pokoknya". Ternyata arti kata itu di negara tetangga adalah pohon. Bayangkan jika kita bilang: "Pokoknya kamu harus makan biar nggak kedinginan", apa jadinya kalau pokok ini artinya pohon? 



Hampir jam 1 dini hari, waktunya molor jauh dari perkiraan kami yang seharusnya sampai di Pos III tidak lebih dari jam 6 sore. 



Tenda Kami Pagi Hari di Pos III 


Tenda Kami Berpencar, Kayak Hati Kita yang Ambyar


Bersambung lagi ya...


Antara Horror vs Kocak di Gunung Arjuna & Welirang (Bagian 3)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Jam untuk "Tektok" Gunung Pangrango, Jawa Barat

Pengibaran Bendera Sepanjang 1 Kilometer di Gunung Rakutak, Bandung

Backpacker ke Dieng, Wonosobo