Ujung Kulon: Snorkeling, Trekking, Canoing
Bibir Pantai Pulau Peucang |
Hari
masih sangat pagi saat saya sampai di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten. Sebelum berkapalan menuju pulau Peucang, kami beristirahat di
rumah warga Kecamatan Sumur untuk sekedar sarapan. Tapi anehnya yang punya rumah
sedang tidak di rumah, lah, kok kami bisa dipersilakan masuk rumahnya ya, si
penjaga rumah yang bertanggungjawab lho yee hehe. Kabarnya, sang pemilik rumah sedang
pulang kampung di Makassar, Sulawesi Selatan. Wih, keren daerah rantauannya
bisa sampai Pandeglang sini… Begitulah nelayan kita, kan nenek moyangku seorang pelaut.. Hihihi
Kecamatan
Sumur merupakan daerah nelayan dan salah satu pintu masuk menuju Pulau Peucang.
Selain Kecamatan Sumur, akses lain adalah dari Pantai Carita Cilegon. Jarak
menuju Pulau Peucang lebih dekat dari Kecamatan Sumur. Kapal-kapal khusus untuk wisata ke Kawasan
Wisata Ujung Kulon tersedia untuk disewakan. Rupanya desain kapal pun sudah
bukan untuk nelayan ikan, tapi khusus untuk menampung wisatawan. Bisnis kapal
wisata cukup menjanjikan, mengingat sewa kapal hampir tiap akhir pekan ramai
terus. Sekali sewa selama dua hari satu malam dapat mencapai 2-3 juta
tergantung jumlah pulau-pulau yang dikunjungi. Include makan 4 kali! Wiw!
Taman
Nasional Ujung Kulon (TNUK) dikelola oleh Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia. Di dalamnya meliputi Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, Pualu Panaitan,
Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje. Konsep wisata yang disuguhkan adalah
tentang kelestarian flora fauna dan ekosistem yang meliputi pantai dan hutan. Tentunya
"artis" dalam TNUK adalah badak jawa yang hampir punah, sedangkan tujuan utama wisatawan paling
banyak memilih Pulau Peucang.
Sambil
bertolak dari Sumur menuju Pulau Peucang, kapal singgah di beberapa titik
wisata. Pulau Handeuleum menjadi lokasi pertama yang dituju. Dermaga kecil
menambatkan kapal-kapal wisatawan, terlihat ada satu kapal wisatawan lain yang
tertambat di sana. Pulaunya tak berpasir, hampir semua daratannya tersusun dari
pecahan-pecahan karang yang kecil dan putih. Akan terasa sakit jika tidak beralas
kaki. Pepohonan kecil tumbuh rindang, membentuk kanopi-kanopi. Adem melintasi
pulau ini meskipun hari sudah siang bolong.
Kapal
meninggalkan Pulau Handeuleum, snorkeling dimulai di Citerjun. Lumayan masih
bagus karangnya, ikan warna-warni pun masih berseliweran. Tapi sayang, beberapa
titik saya melihat karang bekas tambatan jangkar kapal-kapal. Titik snorkeling
kedua saya lupa namanya, tak jauh dari Citerjun, yang jelas spot ini jarak
permukaan laut dengan dasarnya sangat jauh. Mungkin mencapai 6-7 meter, apanya
yang mau dilihat coba? Visibility tidak terlalu baik, dalam pandangan saya
airnya berwarna kehijauan. Ikan dan karang sedikit sekali yang “tampil”.
Seharian
berpanas ria di laut, di sore hari mata kami dimanjakan dengan sunset di Karang
Copong. Indahnya… Duh… Terombang-ambing di atas kapal sambil melamun memandang
matahari yang bergerak perlahan turun di riuhnya ombak laut… *awas kecemplung
ke laut*
Sunset di Ujung Kulon |
Menjelang Sunset |
Hal
yang membuat saya sangat terhibur adalah ketika bermalam di Pulau Peucang. Saya
dikagetkan dengan puluhan ekor kera berkeliaran di depan mata, tepat selepas
dari dermaga Pulau Peucang. Gilanya lagi, begitu mencapai depan penginapan saya
dikagetkan dengan babi hutan yang guedee, bulunya yang tajam membuat saya bergidik.
Eh, ditambah lagi ada tuan rusa juga yang lagi enak santai di halaman depan
penginapan. Pantas saja kotoran hewan tersebar terpampang nyata di seluruh Pula
Peucang. Rupanya banyak “kawan-kawan” fauna yang cuek terbiasa dipelototin
wisatawan. Jika mencapa kawasan Pulau Peucang berhati-hati saja dengan barang
bawaan. Kera-kera lumayan galak, jika melihat makanan di tangan kita, mereka
bisa saja merebutnya dan membawa kabur dalam sekejap. Sepertinya kera-kera itu mirip
“begal” hahaha…
Fasilitas
penginapan di Pulau Peucang dikelola oleh Kementerian Kehutanan, hampir semua
bangunannya sudah berusia tua. Semuanya dirancang dengan rumah panggung untuk
menghindari binatang liar memasuki penginapan. Saya mengalami
ketidakberuntungan saat menginap di sana. Satu rumah besar terdiri dari sekitar
8 kamar namun diisi oleh hampir 30 orang. Alhasil dalam satu kamar berisi 3-5
orang.
Satu
kamar normalnya hanya untuk 2 orang karena terdiri dari 2 tempat tidur,
ditambah almari pakaian, meja rias dan kamar mandi dalam. Karena satu kamar
berisi banyak orang jadilah kasur-kasur tambahan dimasukkan dalam kamar-kamar
kami. Ketidakberuntungan saya adalah ketika air di kamar mandi dalam tidak
mengalir! Untuk melakukan bersih-bersih dan sekedar berwudhu saya nebeng di
kamar sebelah, sedangkan mandi terpaksa di luar penginapan, menuju kamar mandi
milik pengelola yang letaknya beberapa puluh meter. Bisa dibayangkan, untuk
mandi saya melintasi kotoran binatang dan si empunya kotoran itu… Apalagi pas
mandi pagi hari menjelang subuh, saya
sendirian melintasinya dalam keadaan gelap… Hiii… Tapi lebih merasa tenang karena
binatang-binatang yang "main" di halaman penginapan masih terlelap…
Penginapan Milik Kementerian Kehutanan di Pulau Peucang |
Sebelum
meninggalkan pulau Peucang, saya sempatkan snorkeling di pantainya. Lumayan
nemu ikan nemo. Pasir putihnya meleleh ketika diinjak. Visibility air bagus
sih, Cuma lagi-lagi saya menjumpai karang yang patah-patah cukup parah. Saya
curiga ini karena diinjak wisatawan karena letaknya sangat dekat dengan bibir
pantai Pulau Peucang. Mending kalau tidak bisa berenang ya kenakan pelampung
dan fin kaki tidak menyentuh karang-karang. Ya ngga guys?
Canoing bisa
dilakukan di Sungai
Cigenter. Aliran sungai ini bermuara di laut. Sepanjang berkano
di kanan kiri sungai masih lebat tanaman khas hutan tropis.
Menurut guide saya, di sana biasa dijadikan tempat minum oleh badak-badak.
Terlihat dari bekas injakan kaki-kakinya yang masih basah.
Beberapa
puluh ekor badak tersebar juga di padang penggembalaan Cidaon. Di padang ini
terhampar savana mirip di Afrika namun dalam ukuran mini. Seekor burung merak
sedang berjalan di tengah savana ketika saya sampai di Cidaon. Turun dari kapal,
hanya dengan trekking sekitar 10 menit sampai di padang Cidaon. Dasar tukang
manjat, begitu melihat menara intai, saya langsung nangkring di pucuk menara.
Asyik sekali mengamati padang dari ketinggian. Namun, kami tidak menemukan
seekor badak pun, konon badak-badak tidak suka dengan bau manusia sehingga kabur bersembunyi. Ada trip
khusus jika benar-benar ingin melihat badak, yaitu dengan bermalam seminggu di
hutan dengan syarat tidak mandi dan memakai wewangian. Tujuannya agar bau
badan kita tidak terendus oleh badak. Hihihi…
Padang Penggembalaan Cidaon Dilihat dari Atas Menara Intai |
Karang Copong |
Pantai Dekat Padang Cidaon |
Super
sekali ini Taman Nasional Ujung Kulon
Badan
terasa lelah setelah dua hari celap-celup air laut dan trekking, tiba-tiba
kapal sudah bersandar di pinggir pulau. Kami beramai-ramai menuju pantai dengan
berenang karena tidak ada dermaga. Whihiiii! Saya terkejut dengan air terjun
mini yang rasanya tawar! Sluurrrppp… Saya langsung minum saja hahaha….
Suasananya enak, adem, pepohonan sampai menaungi sebagian pantainya, jadi bisa
berenang-renang tanpa kepanasan! Pasirnya pun sangat halus. Snorkel saya sempat
hilang di pantai ini, namun setelah menyusuri mencarinya akhirnya ketemu juga snorkel pertama yang
saya beli hahay… Lebih mengejutkan ketika berenang-renang di sini saya melihat
gurita yang kepalanya sebesar bola kaki.. Wiiih… Nama pantai ini adalah
Cimayang.
Iya, super sekali Taman
nasional Ujung Kulon…
Komentar
Posting Komentar